Minggu, 25 Mei 2014

Cerita Suku Dayak Kalimantan Tengah



Cerita
A mpit Dan Ampat


Pada  Zaman dahulu kala, di pedalaman hutan Kalimantan Tengah khususnya di hutan Murung Raya, hidup berbagai macam jenis binatang. Tapi uniknya, binatang-binatang ini bisa berbicara layaknya manusia biasa.
Seperti yang dikatakan di atas, hiduplah burung pipit yang bernama Ampit. Burung pipit ini berjenis kelamin perempuan dan pada masa itu sudah beranjak dewasa. Kehidupan burung pipit ini sangat memprihatinkan, dimana burung ini hidup seorang diri, mencari makan sendiri bahkan membuat sarangpun sendirian saja. Burung pipit ini sangat tertutup sekali,  Tempat kediamannya jauh dari kampung binatang-binatang yang ada di hutan tersebut. Burung pipit ini sebenarnya ingin sekali hidup di tengah-tengah masyarakat hutan, tapi sayangnya dia tidak berani karena bulunya sangat jelek tanpa corak sedikitpun.
Pada suatu waktu, pada saat burung pipit ini menanam benih padi di ladangnya, datanglah seekor burung pipit yang lain, bulunya sangat elok sekali. Burung pipit ini adalah seorang pengelana, yang tujuan utamanya adalah mencari jodoh. Burung pipit jantan ini bernama Ampat. Saat pertama bertemu, Ampit merasakan ada sesuatu yang lain dihatinya, begitu juga si Ampat tidak jauh berbeda dengan si Ampit. Beberapa saat kedua burung ini saling terpaku, tanpa kata dan suara, hening . . . !!
Dengan penuh senyum dan keramahan, si Ampat menyapa si Ampit dengan tutur kata yang lemah lembut. Ampat menjelaskan kepada si Ampit bahwa dia sudah lapar karena sudah 2 hari tidak makan. Maka, Ampitpun membawa si Ampat ke sarangnya untuk menyiapkan makanan dan minuman. Pada malam harinya, si Ampat bertanya kepada si Ampit tentang kehidupannya, dan juga tentang kesehariannya. Mungkin karena merasa cocok, pada pagi harinya burung pipit berdua ini mendatangi “Damang” yang ada di hutan itu. Pada waktu itu, jabatan Damang di pegang oleh Pilanduk. Setelah dilakukan musyawarah oleh seluruh warga hutan, maka ditentukanlah hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan Ampit dan Ampat ini.
Sampailah pada hari yang ditentukan, seluruh warga hutanpun berdatangan ke rumah si Kancil untuk merayakan perkimpoian Ampit dan Ampat. Pada saat jamuan makan, semua para undanganpun duduk dengan rapi. Saat Bahuang ingin mengambil makanan tersebut, semuanya memarahi Bahuang. Karena tangan dan kuku bahuang hitam dan panjang, maka si Bahuang ini pun disuruh untuk mencuci tangannya di belakang. Setelah selesai mencuci tangannya, Bahuangpun datang untuk mengambil makanan. Tapi lagi-lagi tangannya di pegang oleh Bakei, dan disuruh lagi mencuci tangannya ke belakang. Begitu terus terjadi, sampai-sampai makanan dan minuman habis tak ada sisanya. Bahuang pun sangat sedih dan berlari ke dalam hutan sambil menangis, Bahuang sangat dendam kepada semua penghuni hutan karena Bahuang menganggap semuanya pelit dan tidak senang dengan dirinya.
Supaya permasalahan ini tidak berlanjut lagi, maka datanglah Damang ke sarang Bahuang beserta seluruh penghuni hutan untuk meminta ma’af dan juga menjelaskan duduk permasalahannya. Damang dengan penuh kharisma dan juga berwibawa menjelaskan kepada Bahuang, bahwa anggapan yang ditujukan kepada mereka semua itu tidak benar. Inti permasalahannya adalah bahwa kuku dan tangan Bahuang itu tidak bisa putih, sedangkan mereka semua tidak tahu bahwa tangan dan kuku Bahuang itu tidak bisa menjadi putih. Karena memang dari sananya Bahuang itu berwarna hitam dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ini semua adalah kesalahpahaman antara Bahuang dan warga hutan. Setelah mendengar itu semuanya, Bahuang pun sadar dan tidak sakit hati lagi. Dengan penuh senyum, Bahuang pun menjabat tangan semua warga hutan dan juga memaafkan semuanya.
Kita kembali kepada Ampit dan Ampat. Setelah perkimpoian itu, pulanglah mereka berdua ke sarangnya. Keseharian mereka berdua adalah bercocok tanam dan juga membuka lahan baru. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan berdua, pasangan burung pipit ini pun merindukan anak yang manis dan imut. Maka, pamitlah Ampat kepada istrinya untuk bertapa ke Gunung Bondang. Istrinya tidak bisa menahan si Ampat, karena tekat suaminya sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat lagi. Dengan berurai air mata, Dengan Sangat berat hati Ampit pun melepaskan kepergian suaminya.

       Beberapa tahun berselang, bertelurlah si Ampit ini. Tapi anehnya, telur yang keluar itu hanya sebuah saja. Dengan penuh kasih sayang, si Ampit menjaga telur ini dengan kesabaran dan juga penuh dengan kelembutan. Karena dia hanya seorang diri, tidaklah mungkin dia akan terus menjaga telur itu terus menerus. Apalagi di lumbung tempat penyimpanan padi sudah menipis, maka dengan berat hati si Ampit ini berangkat ke ladang untuk menanam padi. Pada sore harinya, Ampit pulang ke sarang untuk menyiapkan kebutuhan telurnya ini. Tapi Ampit terkejut, karena di dalam sarangnya itu sudah tidak ada telurnya. Dengan hati yang sedih dan remuk redam, terbanglah Ampit ke rumah Damang untuk menceritakan kejadian ini. Setelah Damang mendengarkan semua cerita Ampit, maka dikumpulnya semua penghuni hutan.
Alangkah herannya Damang ini, setelah di teliti lebih lanjut hanya Handipe saja yang tidak datang. Maka Damang dengan seluruh warga hutan pun segera berangkat ke sarang Handipe. sesampainya di sana Damang lalu bertanya kepada si Handipe  kenapa tidak datang ke rumah si Damang. Jawaban Handipe sangat singkat sekali, bahwa dia letih Dan kekenyangan sehingga tidak sanggup untuk berjalan ke rumah Damang. Damang dan warga lain menjadi curiga karena di sekitar Handipe  itu tidak ada bekas darah, ataupun bulu dan tulang mangsanya. Maka Damang langsung bertanya kepada si handipe ini, apakah betul dia yang menelan telur burung pipit ? Handipe pun langsung marah dan menyangkal ini semua, dihamburkannya bisa kepada Damang dan warga hutan. Karena mereka terancam, maka larilah semuanya keluar dari sarang Handipe tersebut.
Melihat semua kejadian itu, menangislah burung pipit ini. Saat setelah air matanya jatuh, maka jadilah air setelah sampai permukaan tanah. Saat air matanya jatuh lagi, air di permukaan tanah tadi menjadi empat jengkal tingginya. Begitu seterusnya, sampai handipe tersebut pun tenggelam dan mati. Setelah air surut, Handipe tersebut sudah hancur, hanya tertinggal telur burung pipit yang tertinggal di perutnya. Dengan hati yang riang gembira, Ampit pun dengan sigap mengambil telurnya dan membawanya ke sarang. Mulai saat itu, Ampit selalu menjaga telurnya itu dengan penuh waspada. Karena dia tidak ingin kejadian yang serupa akan terulang kembali, cukuplah ini semua menjadi pengalaman yang berharga. Supaya lebih menyayangi dan lebih mendalami lagi arti dari hangatnya kasih sayang yang sebenarnya.
Beberapa bulan kemudian, menetaslah telur tersebut. Maka pecahlah tangis anak Ampit tersebut oleh karena lapar, terbanglah si Ampit ke lumbung padi untuk mengambil beras. Tapi sayangnya, semua sudah habis tak ada sisanya. Maka Ampitpun membujuk anaknya untuk diam, dan pergilah si Ampit ini ke ladang untuk memanen padi. Tidak lama kemudian, menangislah anak Ampit ini sambil berkata “plit-plit inai, aku jere kuman Bojah” yang artinya adalah aku ingin makan beras. “Sabar nak, sabar” jawab si Ampit ini. Tidak lama kemudian, pulanglah si Ampit ini ke sarangnya dengan membawa beras. Sesampainya di sarang, dengan penuh kasih sayang di berikannya beras tersebut kepada anaknya. Karena terlalu banyak anaknya memakan beras tersebut, maka bengkaklah perut anak Ampit ini. Tiap hari tiap malam selalu menangis, karena perutnya sakit sekali. Oleh karena itu, maka berangkatlah si Ampit ini ke rumah Damang untuk meminta tolong menyembuhkan penyakit anaknya.
Setelah ditentukan harinya, maka berangkatlah Damang beserta warga hutan lainnya ke sarang Ampit. Maka dilakukanlah Balian dengan Basiy nya adalah Pilanduk, tidak lama kemudian sembuhlah anak Ampit ini. Setelah Balian tersebut selesai, maka kumpullah semuanya untuk makan. Saat semua sedang makan, datanglah seekor Asu ke rumah si Ampit. Maksud hati ingin melihat Balian, tapi sayang sudah terlambat. Saat Asu naik ke sarang Ampit, seluruh binatang yang ada di dalam tertawa terbahak-bahak. Asu menjadi bingung dan heran, dan Asupun ikut-ikutan tertawa walaupun dia tidak tau apa yang sebenarnya ditertawakan teman-temannya. Karena merasa kasihan kepada si Asu ini, maka berbisiklah Pilanduk bahwa yang mereka tertawakan adalah dirinya sendiri karena dirinya telanjang dan (Latak/Selak) alat kemaluannya kelihatan. Mendengar semua itu, maka marahlah Asu  tersebut. Dikejarnya semua binatang dan diobrak-abriknyalah semua sarang binatang hutan yang lain. Saat Asu itu mengejar Pilanduk, maka di sumpahinyalah Asu tersebut. Setiap yang namanya Asu pada saat mengejar pilanduk pasti akan mati, karena Asu  tidak tau yang namanya balas budi dan berterima kasih.
Beberapa tahun kemudian, pulanglah si Ampat dari Gunung Bondang habis bertapa. Betapa senang hatinya saat bertemu istri tercintanya dan juga bertemu anak kesayangannya walaupun baru pertama kali dilihatnya. Merekapun hidup bahagia sampai akhir hayatnya. ***



Daftar Kosa-Kata

Ampit : burung pipit perempuan
Ampat : burung pipit laki-laki
Asu  : anjing
Bahuang : beruang
Bakei : kera
Handipe : ular
Pilanduk : kancil
Balian : ritual penyembuhan secara mistik
Basiy : dukun
Damang : kepala adat
Gunung Bondang :gunung yang berbentuk lapak pati(peti) yang terletak di atas desa Bondang dihulu sungai dalam laung,konon kabarnya gunung bondang adalah gunung yang paling tinggi dan bermistik di daerah kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah.



Rian Dayak Muara Tupuh
Asal Usul Papar pujung
Cerita
Ujung Dan Silu


Di sebuah Desa yang bernama Muara Tupuh, Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah, ada  batu-batu bersusun yang menyerupai sebuah bendungan yang menyeberangi batang sungai laung yang buat oleh Ujung dan diberi nama Kiham Kumpai oleh masyarakat setempat. Kiham kumpai tersebut tepat berada di hilir Desa Muara Tupuh yang berjarak ± 1km Dari pemukiman.

Konon kisah ini berawal dari kehidupan dua orang saudara kandung yang laki-laki bernama Ujung sedangkan saudara perempuan atau adiknya bernama Silu. Mereka tinggal di hutan dan hidup dengan berladang, sepeninggal kedua orang tuanya Ujung dan Silu hidup berdua mengadu nasib di hutan tersebut. mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hasil berladang, ladang mereka menghasilkan padi, sayur-sayuran dan buah-buahan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, kadang-kadang Ujung pun pergi berburu, karena hutan yang mereka tempati masih alami dan masih belum terjamah oleh manusia lain, Ujung pun dengan mudah mendapatkan hasil buruan seperti Rusa, Babi, Kijang, dan hewan-hewan lain yang bisa mereka jadikan lauk.
Mereka berdua ditinggalkan orang tuanya sejak Ujung berusia empat belas tahun dan Silu berusia sebelas tahun, kedua orang tua mereka meninggal karena sakit-sakitan dan memang sudah berusia lanjut, setelah kedua orang tua meninggal, Ujunglah yang bertanggung jawab menjaga dan memelihara adiknya, Ujung sangat mencintai dan menyayangi adiknya Silu, demikian juga sebaliknya Silu sangat menyayangi dan menghormati kakaknya Ujung.
Waktu terus berjalan, Ujangpun tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang memiliki wajah tampan, dengan dua mata yang sayu tetapi tajam, dagu yang lancip dan memiliki belahan di tengahnya, ia juga seorang lelaki yang gagah perkasa dan memiliki ilmu kedigjayaan yang diturunkan oleh kedua orang tuanya.
Silu pun tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, dengan rambut yang panjang dan hitam, kulit putih mulus, dibalik keanggunannya iapun memiliki ilmu kedigjayaan seperti kakaknya Ujung yang juga diwarisinya dari kedua orang tuanya.
Pada suatu hari Ujung pergi ke dalam hutan untuk mencari daun palas yang akan dijadikan atap gubuk tempat mereka berdua tinggal, sebelum berangkat ke dalam hutan si Ujung berpesan kepada adiknya Silu untuk memasak nasi, memetik sayuran diladang dan memasaknya. Juga memasak Rusa hasil buruannya kemarin sore. Sebagai adik yang menurut kepada kakaknya  Silu pun menyanggupi semua perintah kakaknya dengan ikhlas, dan mengantarkan kepergian kakaknya dengan senyuman.
Berangkatlah si Ujung ke dalam hutan untuk mencari daun palas, setelah matahari berada di atas kepalanya dan merasa bahwa daun palas yang dicarinya sudah cukup banyak, Ujungpun memutuskan untuk pulang ke gubuknya, setelah melalui perjalanan yang melelahkan Ujungpun tiba di halaman gubuknya, dari luar tampak sunyi dan sepi, ia pikir mungkin saja adiknya sedang sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk makan siang mereka berdua.
Ujung lalu masuk ke dalam gubuk dan mendapati adiknya Silu sedang duduk merenung di dapur sambil memainkan rambutnya yang hitam dan panjang, Ujung memerintahkan Silu untuk menyiapkan makanan, sementara ia pergi mandi kesumur belakang gubuk mereka.
Silupun menyiapkan makanan, setelah Ujung selesai mandi dan berpakaian iapun menghampiri adiknya yang sedang menyiapkan makanan, tapi ia terkejut saat melihat nasi yang dimasak Silu ternyata sangat sedikit, padahal sebelum berangkat berburu ia sudah berpesan agar Silu memasak nasi yang banyak, saat ia bertanya kepada Silu mengapa nasi yang ia masak sangat sedikit, Silu pun hanya diam dan tersenyum, ia mengajak kakaknya makan bersama, dengan perasaan yang masih bertanya-tanya karena bingung akan sikap adiknya, Ujungpun terpaksa makan karena perutnya memang sudah sangat lapar sekali.
Selesai makan Silu membereskan piring-piring, mangkok, gelas dengan mencucinya di sumur belakang gubuk mereka. Sementara Ujungpun pergi ke ladang mereka untuk melihat-lihat keadaan tumbuhan yang hidup diladangnya, begitulah kegiatan yang dilakukan oleh Ujung dan adiknya Silu, Ujung bertugas memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan berladang dan berburu, sementara Silu adiknya dirumah mempersiapkan makanan dan mengurusi pekerjaan rumah lainnya, walaupun hidup di hutan dan apa adanya mereka nampak berbahagia karena bisa saling tolong menolong dan melengkapi satu sama lain.
Keesokan harinya Ujungpun berangkat lagi untuk mencari daun palas, tapi seperti hari sebelumnya iapun berpesan lagi kepada adiknya Silu agar memasak nasi yang banyak dengan sayur dan lauk yang banyak pula.
Setelah berpesan kepada Silu iapun berangkat ke dalam hutan, tanpa kenal lelah Ujung mencari daun palas, ia membutuhkan banyak daun palas untuk atap gubuk mereka yang sudah harus diganti dengan daun-daun palas yang baru, setelah beberapa Ujung mencari daun palas ia pun merasa sangat lelah dan lapar. Walaupun daun-daun palas yang di dapatnya sekarang belum cukup untuk atap rumah mereka, ia pun memutuskan pulang dan besok pagi ia akan mencari daun palas lagi ke hutan. Setelah berjalan cukup lama iapun sampai di halaman gubuk mereka seperti hari sebelumnya gubuk mereka tampak sunyi dan sepi, iapun masuk dan mendapati adiknya Silu sedang duduk merenung sambil menyisir rambutnya yang hitam panjang.
Tanpa menegur Silu, Ujungpun langsung pergi ke sumur belakang gubuk mereka untuk mandi, selesai mandi Ujung berpakaian dan setelah selesai berpakaian Ujung menghampiri adiknya, dan menyuruh Silu mempersiapkan makanan, Silupun mencuci tangannya dan segera mempersiapkan makanan untuk mereka berdua, sementara Silu mempersiapkan makanan, ujung mengamati apa yang dilakukan adiknya, ia kembali terkejut saat melihat makanan yang dimasak adiknya sangat sedikit, setelah selesai mempersiapkan makanan, Silu pun mengajak kakaknya untuk makan, seperti biasanya dengan perasaan yang bertanya-tanya karena bingung dengan apa yang dilakukan Silu karena tak menuruti perintahnya. Ujungpun makan karena merasa perutnya masih lapar iapun meminta nasi, sayur, dan lauk lagi kepada Silu, dan anehnya apa yang diminta Ujung masih ada, entah dari mana Silu mendapatkan semuanya, merasa dipermainkan oleh Silu, Ujung pun berniat membalas perbuatan adiknya.


Besoknya pagi-pagi sekali Ujung sudah berangkat kedalam hutan untuk mencari daun palas, setelah merasa daun palas yang di dapatnya sudah cukup untuk atap gubuk mereka berdua apabila digabungkan dengan daun-daun palas yang sudah didapatnya dua hari yang lalu, Ujangpun memutuskan pulang, tapi terlebih dahulu ia mengikat daun-daun palas yang sangat banyak itu menjadi satu ikatan sehingga terlihat sangat sedikit.
Setelah berjalan cukup lama, iapun sampai di depan gubuk mereka, Silupun menyambut kedatangan kakaknya dengan gembira, tapi ia merasa heran karena daun-daun palas yang dibawa kakaknya sangat sedikit, ia pun bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa daun-daun palas yang didapatkan kakaknya sangat sedikit, padahal kakaknya Ujung mencari daun-daun palas tersebut selam tiga hari berturut-turut dari pagi sampai siang hari, tapi mengapa daun-daun palas yang di dapatnya hanya sedikit ?, padahal di hutan tempat mereka tinggal terdapat banyak daun palas dan tidak susah untuk mencarinya, menurut Silu seharusnya kakaknya bisa mendapatkan daun-daun palas yang sangat banyak untuk atap gubuk mereka, tapi mengapa kakaknya Ujung hanya mendapatkan daun-daun palas yang sangat sedikit, apakah yang dilakukan kakaknya selama tiga hari, apa benar selama tiga hari tersebut ia  mencari daun palas, kalau benar mengapa daun-daun palas yang didapatkannya sangat sedikit tidak sesuai dengan lamanya pergi mencari daun-daun palas tersebut, jika kakaknya pergi tidak untuk mencari daun palas apa yang dilakukan kakaknya selama tiga hari berturut-turut, apakah ia pergi berburu, tapi mengapa tiap kali ia pulang tak pernah membawa hasil buruan, padahal bila memang kakaknya Ujung pergi untuk berburu, ia pasti akan mendapatkan hasil buruan, karena di hutan tempat mereka tinggal masih sangat banyak hewan-hewan seperti Kijang, Rusa, Babi dan hewan-hewan lain yang bisa di jadikan hewan buruan, lalu ke mana dan apa yang dilakukan kakaknya selama tiga hari berturut-turut dari pagi sampai siang hari.
Berbagaimacam pertanyaan memenuhi otak Silu, karena merasa sangat penasaran iapun bertanya kepada kakaknya Ujung, mengapa daun-daun palas yang di dapat kakaknya sangat sedikit ?, Ujungpun tersenyum mendengar pertanyaan adiknya Silu, ia menjawab bahwa itu hanyalah penglihatan adiknya saja, ia mendapatkan daun-daun palas sangat banyak dan cukup untuk atap gubuk mereka berdua.
Ujungpun menyuruh Silu  membuka ikatan tali daun-daun palas tersebut, sambil membuka ikatan daun-daun palas tersebut Silu duduk diatasnya, pada saat ikatan daun-daun palas tersebut terlepas Silu pun terpental keatas, padahal pada saat itu Silu hanya mengenakan kain sarung sebagai penutup badannya tanpa menggunakan pakaian dalam, sehingga pada saat sarungnya terlepas Ujung bisa dengan jelas melihat bagian-bagian tubuh Dan kemaluan Silu yang seharusnya tidak boleh ia lihat, Silu pun merasa malu kepada kakaknya karena telah melihat bagian-bagian tubuhnya yang seharusnya tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali dirinya sendiri, karena malu iapun berlari menjauhi kakaknya dengan menggunakan kesaktiannya, Ujungpun menggunakan kesaktiannya untuk mengejar adiknya, dengan kesaktiannya ia membuat papar (susunan) batu untuk menghalangi Silu, tetapi Silu sudah terlanjur merasa sangat malu kepada kakaknya ia tak membiarkan kakaknya bisa mengejar langkah-langkahnya, dengan menggunakan kekuatannya pula ia menghancurkan paparan batu yang dibuat oleh Ujung untuk menghalangi kepergiannya. Menurut cerita orang-orang tua di desa Muara Tupuh, mereka saling kejar-mengejar sampai ke negeri Cina. Setelah sampai di negeri Cina merekapun terpisah, tidak ada yang tau kemana perginya Ujung, setelah mengetahui bahwa kakaknya Ujung tak lagi mengejarnya, Silupun berjalan pelan dan menemukan sebuah sungai di Cina, karena merasa haus iapun berlari ke arah sungai tersebut dan meminum airnya, setelah rasa hausnya hilang timbul keinginan dihatinya untuk mandi di sungai tersebut, setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman dan tak ada orang yang melihat dirinya ada di situ, iapun melepaskan sarungnya dan pada saat ia melepaskan sarungnya tubuhnya polos tanpa menggunakan apapun juga, kulitnya yang putih dan mulus memancarkan cahaya putih yang memenuhi seluruh negeri Cina, konon inilah sebabnya mengapa orang-orang Cina memiliki kulit putih dan mulus, setelah selesai mandi Silu pun mengenakan sarungnya kembali, iapun melanjutkan perjalanannya hingga akhirnya ia sampai di Afrika. karena ia merasa tidak terlalu suka dengan tempat tersebut iapun tidak melakukan apa-apa dan meneruskan perjalanannya hingga akhirnya iapun sampai di Indonesia kembali, pada saat berjalan-jalan iapun menemukan sungai karena merasa sangat haus Silupun meminum air sungai tersebut dan membiarkan kakinya berendam ke dalam sungai tersebut ia mengangkat sarungnya sedikit dan betisnya yang panjang, putih dan mulus pun terlihat sehingga memancarkan cahaya putih karena pantulan sinar matahari walaupun sinar putihnya tak sebenderang sinar putih waktu ia membuka sarungnya di negeri Cina, setidaknya negara Indonesia mendapatkan sinar putih dari bagian tubuh Silu yaitu betisnya, karena itulah orang-orang Indonesia memiliki kulit sawo matang dan kuning langsat, kulit yang tidak hitam tidak juga terlalu putih. Setelah merasa puas merendam kakinya, Silupun terus berjalan melanjutkan perjalanannya, hingga ia merasa lelah dan menemukan sebuah gubuk yang tepat berada di puncak Gunung Bondang, iapun berjalan ke arah gubuk tersebut dan karena merasa sangat lelah dan mengantuk iapun tertidur di gubuk tersebut.
Pada saat Silu bangun iapun terkejut melihat keadaan disekitarnya, di depannya tersedia makanan, nasi, sayur, lengkap dengan lauk-pauknya ia lalu berdiri dan melihat keluar tidak ada siapa-siapa selain dirinya, iapun kembali ke dalam gubuk, karena merasa sangat lapar iapun memakan makanan yang ada dihadapannya sampai habis, setelah selesai makan iapun pergi kebelakang gubuk tersebut untuk mencuci piring, setelah selesai mencuci piring Silu kembali ke dalam gubuk.
Silu merasa sangat penasaran siapakah orang yang telah memasak masakan yang telah ia makan tadi, karena rasa penasaran tersebut Silu akhirnya tetap tinggal di gubuk tersebut sampai ia tau siapa orang yang memiliki gubuk tersebut.
Silu terus menunggu kedatangan si pemilik gubuk tempatnya berada sekarang, setelah hari sudah mulai siang, matahari memancarkan sinarnya, dari kejauhan Silu melihat sebuah sosok yang sepertinya seorang lelaki, semakin dekat sosok tersebut semakin jelas wajah si pemilik gubuk tersebut, Silu sangat terkejut ketika menyadari bahwa orang yang kini ada di hadapanya ada Ujung kakaknya, yang ia kira selama ini sudah tak lagi mencarinya dan bahkan sudah tidak di dunia ini lagi, melihat sikap Silu yang diam karena merasa kaget Ujungpun menyentuh bahunya, menyadarkannya dari lamunan dan kebingungannya, Ujungpun menceritakan semua yang ia lakukan, bahwa sebenarnya selama ini ia terus mengikuti Silu tanpa sepengetahuan Silu, ia tidak mau Silu tahu kalau ia mengikuti Silu, karena kalau tahu Silu pasti akan berlari menjauhinya, karena Silu merasa sangat merindukan kakaknya iapun memeluk kakaknya sambil menangis dan meminta maaf kepada kakaknya, Ujung merasa terharu dan ikut menitikkan air mata kebahagiaannya, ia merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena sekarang ia bisa kembali hidup bersama-sama lagi dengan adiknya seperti dulu.
Setelah peristiwa tersebut Ujung dan Silu kembali hidup bersama, sampai sekarang bila air dalam sungai Laung yang menuju ke Muara Tupuh surut maka akan nampak papar Ujung tersebut, apabila kita ingin ke Muara Tupuh pada waktu air surut kita akan melewatinya.
Papar ujung tersebut disebut juga kiham kumpai atau riam yang penuh dengan rumput kumpai.







******~Rian Dayak~******
Riansyah_Azha@yahoo.co.id











Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu
Dikatakan Juga
Petak Malai Buluh Merindu



Legenda ini berasal dari daerah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Tepatnya di daerah penduduk atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut Murung dan di daerah penduduk kampung Talung Nyaling. Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu ini asal mulanya ada di tanah Kayangan atau Danum Songiang.
Di tanah kayangan telah hidup dua orang perempuan yang sangat cantik yang bernama Bura dan Santaki. Diceritakan pada suatu hari kedua perempuan cantik ini turun kedunia atau anak Danum Kalunen untuk melihat dan mengamat-ngamati keadaan yang ada di sana. Ketika sedang berjalan kedua perempuan cantik ini melihat bahwa banyak sekali tempat-tempat yang sepi dan tidak ada penghuninya. Sedang ketika kedua perempuan itu berjalan lagi ia melihat bahwa ada sekelompok manusia atau Kalunen yang mendiami tempat tersebut.
Dalam hati kedua perempuan cantik itu bertanya kenapa di dunia manusia masih banyak sekali tempat-tempat sunyi dan sepi tidak ada penghuninya. Maka bersedihlah hati kedua perempuan yang bernama Bura dan Santaki itu. ketika kembali lagi ketanah kayangan, siang dan malam kedua perempuan itu merenungkan apa yang harus mereka perbuat. Supaya di dunia tidak ada lagi tempat sepi yang tidak ada penghuninya. Setelah berhari-hari kedua perempuan cantik itu memutuskan untuk menurunkan “Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Merindu ke dunia atau anak Danum Kalunen sebagai songkolasan-songkolimo anak Kalunen di muka bumi atau pindah ondou.

Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu adalah benda keramat milik manusia di tanah kayangan.Tana Malai atau petak malai adalah tanah yang bertahun-tahun dikumpulkan oleh Burung elang dari seluruh penjuru alam dimana ia pernah singgah. Tana Malai ini dikatakan tanah keramat, tanah ini menempel atau melekat pada kaki burung elang  pada saat ia terbang kealam bebas, dan pada saat ia kembali tanah itu akhirnya menumpuk dan akhirnya menjadi tempat burung elang itu tinggal atau menjadi tempat sarangnya.
Tana Malai itu berbau harum dan berwarna kuning keemasan. Konon ceritanya Tana Malai ini mempunyai kekuatan mistik yang bisa memikat siapapun yang pernah menyentuh tanah tersebut.
Seperti halnya burung elang, walau kemanapun ia pergi atau seberapa jauh burung elang itu pergi, burung elang akan berusaha kembali kesarangnya, yang dikarenakan pengaruh dari Tana Malai atau Petak keramat tersebut yang menempel pada kakinya dan kemudian menjadi tempat sarangnya. Sedangkan Buluh merindu adalah bambu.
Pada suatu hari di tanah kayangan kedua perempuan cantik “ Bura dan Santaki pun menurunkan ke dunia atau pindah Ondou atau anak Danum Kalunen Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu”. Bura Hoburup atau ngipas pertama Tana Malai Tolung Lingu atau menurunkan Tana Malai Tolung Lingu ke dunia yang jatuh tepatnya di Gunung Pancung Ampang Hulu Barito Selatan.
Yang kedua Santaki Hoburuh atau ngipas atau menurunkan Tana Malai Tolung lingu yang jatuh di Gunung Bondang tepatnya di hulu Sungai Laung. Tana Malai Tolung lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini telah ditemukan oleh orang di dunia atau anak Kalunen panda ondou.
Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini di temukan oleh penduduk wilayah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu yang berada di daerah pedalaman sekitar tahun 1720M dan 1721M.
Sekitar tahun 1720M Nyahu bin Sangen dan Conihan penduduk yang pertama kali menemukan Tana Malai Tolung Lingu. Kedua orang ini masing-masing merupakan penduduk kampung suku siang Kono atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut murung.
Keadaan penduduk suku siang kono pada waktu itu sangat primitive sekali baik cara berpakaian bahkan kondisi keberadaan mereka. Penduduk suku kono terkenal dengan daun telingga mereka yang lebar dan panjang yang disebabkan oleh benda-benda berat  yang sengaja digantung pada daun telingga mereka sebagai anting agar tampak cantik bagi kaum perempuannya. Benda-benda itu berupa kayu, atau tulang-tulang binatang atau emas atapun perak. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-menurun dari nenek moyang mereka, selain itu penduduk kampung suku kono pada zaman dahulu tidak mengunakan pakaian selayaknya manusia pada zaman sekarang.
Tetapi mereka hanya mengunakan penutup badan yang tebuat dari serat-serat kayu yang disebut juga dengan enah yang hanya digunakan untuk menutupi tubuh di daerah sekitar kemaluannya.
Kehidupan penduduk suku kono pada saat itu hanya mengandalkan mata pencaharian berburu dan bercocok tanam secara berpindah-pindah
Pada tahun 1720M penduduk Suku Siang Kono yang bernama Nyahu Bin Sangen dan Conihan melakukan perjalanan untuk mencari sarang Burung Walet ke Liang Gunung pancung Ampang yang tepatnya berada di antara Hulu Sungai Karamu dan Sungai Busang dan juga Hulu Sungai Chan anak Sungai Mahakam mati yang terdapat di Gunung Pancung Ampang yang di namai Cahai Uhai. Di puncak Gunung Pancang Ampanglah Nyahu Bin Sangen dan Conihan berusaha untuk mencari Tana Malai. di sekitar Gunung Pancung Ampang itu kedua orang penduduk suku kono impun menemukan juga Tana Malai atau petak  malai di lereng gunung Pancung Ampang yang terdapat pada dinding atau batu lereng gunung ampang tersebut.
Untuk dapat mengambil Tana Malai, Nyahu Bin sangen dan Conihan terlebih dulu mengambil Tolung Ling yang telah mereka temukan. Kemudian barulah Nyahu Bin Sangen dan Conihan dapat mengambi Tanah Malai dengan Tolung Lingu mereka berdua mengambil Tana Malai dengan cara menyambung-menyambungkan Tolung Lingu dan dengan bagian ujung atas bambu Tana Malai diambil. konon cerita Tana Malai di ambil dengan mengunakan Tolung Linggu dikarenakan jarak antara Tana Malai berada di tempat tinggi di atas permukaan tanah tempat Nyahu Bin Sangen dan Colihan berdiri sehingga mereka mengunakan tolung lingu yang disambung-sambungkan hingga menjadi panjang dan juga dikarenakan Tana Malai tidak dapat sembarang di sentuh oleh orang. Tana Malai di ambil dengan bambu atau tolung Lingu dan masuk ke dalam Tolung Lingu atau bambu tesebut melalui bagian ujung atas bambu.
Ketika telah menemukan Tana Malai Tolung Lingu, Nyahu Bin Sangen memutuskan untuk kembali ke kampungnya untuk menceritakan kejadian itu kepada penduduk kampung mereka. Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh, Nyahu Bin Sangen dan conihanpun akhirnya sampai di kampungnya.
Kedua orang ini segera menceritakan perihal penemuan mereka tersebut kepada Tua-tua adat dan penduduk lainnya kemudian Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Merindu bagi Suku Siang Kono dijadikan Songkolasan-Songkolimo atau pemikat atau penakluk hati. Konon ceritanya setiap orang asing atau tamu yang datang ke Hulu Barito, kalau mereka mandi atau minum air sungai barito mereka akan merasa lingo-lingo atau rasa ingin pulang kembali ke tempat asalnya akan ditunda-tunda atau nanti-nanti saja dalam hatinya pada akhirnya tidak jadi pulang kembali ketempat asalnya tetapi akan kimpoi dan hidup menetap atau tinggal di Hulu Barito bersama dengan penduduk asli suku siang, punan, panyawung, Ut Danum dan lain-lain. Sebab itu di Hulu Barito sekarang banayak sekali suku pendatang yang menetap disana.
Kemudian pada tahun 1721M Tana Malai Tolung Lingu telah di temukan oleh penduduk suku Siang Murung kampung Talu Nyaling yang bernama “Nyaman” dan “Talawang Amai Meteh”. Tana Malai Tolung Lingu di temukan di Gunung Bondang tepatnya di hulu sungai laung.
Kedua orang ini berjalan ke gunung Bondang, bermaksud untuk balampah atau bersemedi guna mencari alamat atau petunjuk yang baik agar memperoleh hidup sukses. Setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh dari kampungnya berhari-hari, kedua orang itu pun’ Nyaman dan Talawang Amai Meteh “akhirnya sampailah pada puncak gunung Bondang yang paling tinggi di antara gunung-gunung yang ada di daerah tersebut atau daerah murung Raya atau Puruk Cahu sekarang. Gunung Bondang yang paling tinggi itu disebut Lapak Pati.
Ketika Nyaman dan Talawang Amai Meteh telah berada di puncak Gunung Bondang di jumpailah Tolung lingu yang hidup di pncak Gunung Bondang tersebut. Kemudian mereka berdua mengambil Tolung Lingu dan mencari Tana Malai petak Malai dan akhirnyapun “Nyaman dan Talawang Amai Meteh” mendapatkannya.
“Nyaman dan Talawang Amai Meteh” telah menemukan Tana Malai buluh merindu sehingga mereka berdua memutuskan untuk membatalkan keinginan mereka untuk balampah atau bersemedi tetapi memutuskan untuk kembali ke kampung mereka. kedua orang penduduk Suku Siang Murung ini melakukan perjalanan kembaali dengan melewati hutan belantara dan semak belukar dengan waktu yang berhari-hari. Sesampainya di kampung kedua orang itu menceritakan tentang Tana Malai Tolung Lingu yang telah mereka temukan kepada Tua-tua adat dan penduduk kampung mereka.
Tana Malai Tolung Lingu atau Petak Malai Buluh Merindu itu dijadikan Songkolasan-songkolimu penduduk Suku Siang Murung. Maka sebab itu kalau ada orang pendatang atau tamu yang mandi dan minum ari Sungai Laung, lalu merasa lingo-lingo atau lupa-lupa ingin pulang atau kembali ke daerah asalnya dan akhirnya menetap kimpoi dan menetap bersama penduduk asli di Hulu Sungai Laung yang sekarang menjadi Bumi Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.
Sampai pada saat inipun legenda ni masih di percaya oleh masyarakat di sepanjang sungai Barito Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Demikian Legenda rakyat Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.***




Rian Dayak



4 komentar:

  1. Bang boleh izin menggunakan artikel ini untuk alur cerita sya di youtube

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Wynn Las Vegas - JT Hub
    Check out the 김천 출장안마 Wynn Las Vegas Casino 창원 출장안마 in Las Vegas, Nevada. and 제천 출장샵 its sister 전라북도 출장안마 property Wynn Las Vegas (formerly Wynn 부산광역 출장마사지 Las Vegas), to allow guests to enjoy the casino

    BalasHapus